![]() |
Salinan Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 149/PMD.03.04/KESRA Tahun 2025 tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu). |
Bekasi —Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Kota Bekasi menyoroti kebijakan Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Dalam kajiannya, LBH GP Ansor menilai kebijakan tersebut berpotensi menyalahi prinsip hukum administrasi dan asas tata kelola pemerintahan yang baik.
Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 149/PMD.03.04/KESRA Tahun 2025. Program tersebut mengajak masyarakat menyisihkan seribu rupiah per hari untuk membantu kaum ibu dan masyarakat kecil di Jawa Barat.
“Semangat sosialnya baik, tapi pelaksanaannya harus tunduk pada prinsip
hukum. Pemerintah daerah tidak boleh menjalankan kebijakan tanpa dasar hukum
yang jelas,” kata Hilmi, M.H., Sekretaris LBH GP Ansor Kota Bekasi, Senin
(6/10).
Imbauan yang Berpotensi Jadi Paksaan
LBH GP Ansor Kota Bekasi
menilai, bentuk kebijakan yang disampaikan melalui imbauan terbuka berpotensi
menimbulkan tekanan sosial dan birokratis.
“Dalam birokrasi, imbauan dari seorang gubernur sering ditafsirkan sebagai
perintah. ASN, kepala sekolah, atau pelajar bisa merasa wajib ikut, padahal
seharusnya sukarela,” ujar Hilmi.
Menurutnya, semangat rereongan seharusnya lahir dari kesadaran dan keikhlasan
masyarakat, bukan dari tekanan kekuasaan.
Minim Akuntabilitas
LBH GP Ansor juga menyoroti belum adanya kejelasan mekanisme keuangan dalam pelaksanaan rereongan. Tidak dijelaskan siapa penanggung jawab dana, di mana rekening disimpan, dan bagaimana mekanisme pelaporannya.
“Tanpa akuntabilitas yang jelas, pengumpulan dana publik bisa berubah menjadi pungutan liar terselubung,” kata Hilmi.
Ia mengingatkan, PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 mewajibkan setiap penerimaan dana masyarakat oleh pemerintah dikelola secara transparan dan dapat diaudit.
“Jika hal itu diabaikan, kebijakan ini bertentangan dengan asas akuntabilitas
dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UndangUndang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ujarnya.
Tanggung Jawab Negara Tak Boleh Dialihkan
LBH GP Ansor Kota Bekasi juga menilai rereongan berpotensi menggeser tanggung jawab negara kepada masyarakat.
“Gotong royong itu luhur, tetapi jangan sampai negara justru mengalihkan kewajibannya. Konstitusi menegaskan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,” ucap Hilmi.
Menurutnya, rereongan idealnya menjadi pelengkap kebijakan kesejahteraan, bukan pengganti tanggung jawab negara.
Rekomendasi LBH GP Ansor Kota Bekasi
Dalam pandangan akhirnya, LBH GP Ansor Kota Bekasi tidak menolak semangat rereongan. Namun, mereka mendorong agar Dedi Mulyadi menyempurnakan kebijakan tersebut dengan memperhatikan aspek legalitas dan tata kelola.
Ada empat poin rekomendasi yang disampaikan LBH GP Ansor Kota Bekasi:
- Membuat dasar hukum yang jelas, misalnya melalui Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah.
- Menjamin partisipasi masyarakat bersifat sukarela.
- Menegaskan tanggung jawab negara dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat.
- Menyusun sistem pelaporan dan audit yang transparan.
LBH GP Ansor Kota Bekasi
menegaskan, rereongan adalah nilai luhur budaya Sunda yang perlu dijaga. Namun,
pelaksanaannya harus mengedepankan keikhlasan, bukan instruksi. “Nilai silih
asah, silih asih, silih asuh itu luhur. Tapi rereongan harus lahir dari hati,
bukan karena tekanan birokrasi. Kalau niatnya baik, jalannya juga harus benar,”
tutur Hilmi.
Gerakan Rereongan Sapoe
Sarebu (Poe Ibu) diluncurkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada 1
Oktober 2025 melalui surat edaran resmi. Program ini mengajak masyarakat Jawa
Barat menyumbang seribu rupiah per hari untuk mendukung kaum ibu dan kelompok
rentan. Namun, sejumlah pihak, termasuk LBH GP Ansor Kota Bekasi, menilai
kebijakan ini perlu dilengkapi dasar hukum, sistem pengawasan, dan jaminan
transparansi agar tidak menimbulkan penyimpangan.
Editor : M. Zaenudin