Krisis Pemahaman Terhadap Tradisi Pesantren

  

Foto : Wikipedia 

Kisruh reportase negatif di program “Xpose Uncensored” Trans7 tentang pesantren kembali membuka ketegangan lama antara pandangan modern liberal dan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kehidupan keilmuan Islam. Peristiwa ini memperlihatkan benturan dua horizon berpikir antara mereka yang bertumpu pada rasionalitas modern dan mereka yang hidup serta berakar dalam tradisi.

Secara antropologis, otoritas dalam Islam tradisional tidak lahir dari struktur kekuasaan, melainkan tumbuh dari legitimasi sosial dan spiritual. Kiai di pesantren memperoleh wibawa bukan karena paksaan, tetapi karena pengakuan moral dan kepercayaan yang terbentuk melalui keteladanan, laku, serta pengabdian panjang. Hubungan antara kiai dan santri bersifat pedagogis dan spiritual, bukan hubungan kuasa, melainkan proses pembentukan kesadaran diri dan moralitas.

Paradigma egalitarian yang diusung kalangan modern sering kali gagal membaca kompleksitas hubungan ini. Dalam kerangka liberal, hierarki dianggap bentuk dominasi, dan patronase dipandang sebagai ketergantungan. Namun bagi pesantren, hierarki justru menjadi ruang pendidikan moral dan spiritual. Ketundukan santri kepada kiai bukan hasil tekanan, melainkan kesadaran bahwa ilmu menuntut adab sebelum pengetahuan.

Sosiologi klasik menunjukkan bahwa otoritas tidak selalu identik dengan kekuasaan koersif. Ismail Fajri Alatas menegaskan bahwa otoritas terbentuk ketika seseorang mampu menjembatani masa lalu dan masa depan serta menjadikannya fondasi moral bagi kepemimpinan. Dalam konteks Islam, masa lalu itu adalah masa kenabian. Otoritas keagamaan tidak dapat bertumpu pada kecakapan intelektual semata, tetapi juga pada kemampuan artikulatif untuk membangun dan memimpin jamaah. Di pesantren, legitimasi seperti ini tumbuh dari kesetiaan moral dan pengakuan kolektif yang berakar pada pengalaman dan keyakinan bersama.

Kritik modernis terhadap pesantren sering bersumber dari kerangka epistemik yang berbeda. Mereka menilai tradisi dengan ukuran modernitas yang menolak hierarki, sehingga kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai pembentukan diri melalui penghormatan dan pengabdian. Pembacaan semacam itu kerap dangkal, sebab hanya menyoroti mekanisme kuasa tanpa memahami makna moral dan spiritual yang menopang kehidupan tradisional.

Antropologi mengajarkan bahwa setiap masyarakat memiliki tatanan moral sendiri yang menentukan apa yang dianggap luhur, sah, dan bermakna. Tradisi pesantren beroperasi dalam tatanan moral yang menautkan pengetahuan dan spiritualitas sebagai satu kesatuan praksis hidup. Karena itu, konsep kesetaraan modern tidak dapat diberlakukan secara mutlak karena sering mengabaikan struktur simbolik dan nilai etis yang menjadi inti dari dunia tradisi.

Secara filosofis, kritik terhadap tradisi sering bertumpu pada klaim universalitas akal modern. Rasionalitas dijadikan ukuran tunggal kebenaran, seolah berada di luar sejarah dan nilai. Padahal, sebagaimana ditunjukkan tradisi hermeneutika, setiap pengetahuan selalu lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Modernitas sendiri sejatinya merupakan tradisi yang enggan mengakui dirinya sebagai tradisi. Ketika lupa pada keterbatasannya, modernitas mudah terjebak dalam sikap superior terhadap pandangan lain.

Sikap ilmiah yang sejati menuntut kerendahan hati epistemik, yaitu kesadaran bahwa memahami tradisi lain tidak mungkin sepenuhnya dilakukan dari luar. Empati terhadap horizon makna orang lain menjadi syarat bagi setiap upaya memahami. Clifford Geertz pernah menulis bahwa memahami agama berarti berusaha menangkap dunia moral dan simbolik masyarakat sebagaimana mereka memahaminya sendiri.

Perdebatan tentang pesantren dan otoritas keagamaan tidak dapat diselesaikan hanya melalui logika rasional. Diperlukan pendekatan yang mengakui kompleksitas manusia bahwa kebenaran sosial dan spiritual tidak hanya bersumber dari argumen, tetapi juga dari penghayatan dan relasi. Tradisi bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan bentuk kebijaksanaan yang ditempa oleh waktu dan pengalaman kolektif.

Di tengah dunia yang tergesa menilai segala sesuatu, tradisi mengajarkan kesabaran untuk memahami. Ia mengingatkan bahwa kehidupan selalu lebih luas daripada kerangka berpikir manusia. Dalam pengakuan atas keterbatasan itulah kebijaksanaan bermula, sebab pengetahuan sejati tidak lahir untuk menguasai, melainkan untuk menghayati.

Penulis : M. Zaenudin